Search

Membunuh Tabiat Korupsi Melalui Penguatan Kembali Nilai-Nilai Lokal Masyarakat Gorontalo - Kronologi.id - kronologi.id

Titik bahaya dari korupsi tak cuma dilihat persentase kebocoran uang,
tapi juga dari menipisnya kepercayaan kepada bersihnya aparatur Negara secara keseluruhan.”
-Goenawan Mohamad-

“Jikalau yang ada bukanlah kehendak ulipu (rakyat), dan hanya kehendak olongiya (penguasa), atau hanya kehendak pemerintah atau kehendak istri-anak penguasa, maka hancur leburlah mereka yang punya kehendak itu, bagaikan batu kapur dan lemak kerbau yang dipersembahkan.”
-Salah Satu Pasal Sumpah Leluhur Masyarakat Gorontalo, pada Baiat Penyatuan Uduluwo Lo Ulimo Lo Pohala’a Pada tanggal 12 Sya’ban 1048 H
atau Akhir November 1673-

Potret Korupsi Terkini

Korupsi adalah suatu tindakan yang dapat menghancurkan sebuah komunitas sekecil atau sebesar apapun itu, tak terkecuali negara. Fakta menyedihkan yang sedang berlangsung hari ini adalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Transparency International merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2017 dan menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-96 dari 180 negara di dunia yang paling bersih dari korupsi. Apabila peringkat tersebut dibaca terbalik maka Indonesia berada di peringkat ke 84 sebagai negara terkorup di dunia.

Santoso dan Meyrasyawati (2015) mengemukakan bahwa terdapat tiga tahapan perkembangan korupsi di Indonesia, antara lain: elitis, endemik, dan sistemik. Tahap elitis berarti bahwa korupsi menjadi patologi sosial yang khas di kalangan kaum elit atau pejabat. Tahap endemik yaitu wabah korupsi yang diawali dari kalangan orang-orang berpengaruh kemudian menjangkau hingga ke seluruh lapisan masyarakat. Tahap sistemik terjadi ketika korupsi dilakukan oleh setiap individu dalam system.

Menurut rilis data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2018, terdapat lima sektor dengan jumlah kasus korupsi tertinggi, antara lain: Anggaran Dana Desa sebanyak 96 kasus, Pemerintahan 57 kasus, Pendidikan 53 kasus, transportasi 32 kasus, dan kesehatan sebanyak 21 kasus. Sementara jika kita melihat pemetaan korupsi berdasarkan daerah, terdapat lima provinsi dengan jumlah kasus korupsi tertinggi pada tahun 2018, antara lain: 52 kasus korupsi di Jawa Timur, 36 kasus korupsi di Jawa Tengah, 31 kasus korupsi di Sulawesi Selatan, 27 kasus korupsi di Jawa Barat, dan 23 kasus korupsi di Sumatera Utara. Dari kelima provinsi tersebut, Sumatera Utara menjadi provinsi dengan jumlah nilai kerugian yang paling besar bagi Negara yakni Rp 1,1 Triliun.

Sementara Provinsi Gorontalo harus menerima kenyataan pahit dengan berada pada urutan ke 22 dari 35 Provinsi di Indonesia, sebanyak 7 kasus korupsi dengan sumbangsi jumlah kerugian bagi Negara sebesar 16 Miliar Rupiah. sebuah angka yang cukup fantastis dan teramat memalukan!.

Bagaimana tidak memalukan, menurut data statistik yang dikeluarkan oleh BPS tahun 2019 dari total 35 Provinsi di Indonesia, Gorontalo adalah daerah termiskin ke 5 dengan persentase orang miskin sebanyak 15,52 % dari total penduduknya. Dengan menyandang predikat daerah termiskin itu karena sebanyak 186.030 rakyatnya melarat, pada waktu yang hampir bersamaan masih ada saja oknum pejabat dan pemerintah Gorontalo yang dengan tega menggasak hak-hak rakyatnya. Memalukan bukan?

Pencegahan Korupsi Melalui Penguatan Kembali Kearifan Lokal

Ikhtiar Pemerintah pusat untuk pemberantasan tindak pidana korupsi setidaknya terlihat pada pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002, Akan tetapi tindak pidana korupsi masih kerap terjadi, sehingga yang ditakutkan kelak korupsi dianggap sebagai hal yang lumbrah dan biasa. Berangkat dari hal itu, pencegahan dan pemberantasan korupsi memerlukan upaya semua elemen baik pemerintah, pejabat, tokoh agama, penyelenggara pendidikan, maupun masyarakat sipil. Pencegahan korupsi dalam masyarakat dapat dilakukan melalui penguatan kembali nilai-nilai warisan leluhur atau yang biasa dikenal dengan kearfian lokal (local genius).

Pencegahan terhadap terjadinya tindak pidana korupsi tidak bisa hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga formal yang memiliki kewenangan, lebih dari itu juga harus melibatkan masyarakat luas, sebab korupsi bukan hanya dilakukan oleh individu melainkan telah bekerja pada bentuk yang tidak biasa bahkan sistemik. Santoso dan Meyrasyawati (2015) mengemukakan bahwa terdapat tren baru dalam perilaku korupsi dimana korupsi tidak lagi dilakukan secara personal tetapi secara komunal, karena kejahatan akan lebih aman apabila dilakukan secara bersama atau disebut dengan istilah perilaku banalitas korupsi. Masih dalam penelitian yang sama Santoso dan Meyrasyawati menambahkan bahwa pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan melakukan mekanisme kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan internalisasi pendidikan anti korupsi kepada masyarakat melalui pendidikan di sekolah maupun internalisasi langsung dalam kehidupan masyarakat.

Pencegahan korupsi melalui penguatan kearifan lokal telah dilakukan dibeberapa daerah di Indonesia, diantaranya Nurinten, dkk. (2016) mengatakan bahwa pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan menanamkan karakter anti korupsi melalui penguatan kearifan lokal yang salah satunya adalah dongeng jeung kaulinan keur barudak (dongeng dan permainan untuk anak-anak). Dongeng dan permainan anak-anak tersebut merupakan kearifan lokal suku Sunda sehingga berbasis pada budaya Sunda yang menitikberatkan pada lima nilai pokok, yaitu: kejujuran, disiplin, kerja keras, tanggung jawab, dan rendah hati.

Rusdi dan Prasetyaningrum (2016) mengemukakan bahwa semakin menguat internalisasi budaya masyarakat maka dapat menjadi salah satu faktor untuk menekan terjadinya perilaku korupsi karena budaya siri’na pacce mengandung nilai-nilai, antara lain: aktualisasi diri, rasa malu dan rasa bersalah, kesetiaan, dan kejujuran. siri’na pacce merupakan sebuah bentuk penghayatan dari unsur budaya Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Dimana budaya siri’na pacce digunakan sebagai pedoman bagi etnis tersebut dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari.

Rizal dan Farid (2017) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa konkritisasi pitutur luhur yang merupakan salah satu kearifan lokal budaya Jawa secara tidak langsung mempunyai pengaruh pencegahan terhadap praktik korupsi, sehingga konkritisasi dapat melalui pendidikan, seni dan budaya, serta kegiatan lain yang melibatkan masyarakat. Pitutur luhur berbentuk petuah yang dikemas secara filosofis tentang bagaimana mencapai keharmonisan kehidupan masyarakat jawa yang mempunyai nilai-nilai tinggi, mulia, dan baik.

Terkait dengan nilai-nilai anti korupsi Novitasari (2019) mengemukakan bahwa ada 9 Nilai anti korupsi, antara lain: jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, mandiri, adil, berani, dan peduli.

Kearifan lokal dalam masyarakat yang mengadung nilai-nilai anti korupsi seyogyanya dilestarikan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Sebab Apabila nilai-nilai anti korupsi itu telah dihayati dengan penuh dalam sebuah komunitas masyarakat maka dengan sendirinya praktik-praktik korupsi perlahan hilang atau paling tidak bisa diminimalisir. Korupsi terjadi bukan hanya karena keinginan individu untuk memperkaya diri sendiri melainkan oleh faktor lain. Santoso (2015) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa korupsi terjadi karena menguatnya kecenderungan habituasi korupsi dan kendala dalam budaya yang berdampak pada lemahnya upaya pemberantasan korupsi.

Uslaner (Angraeni, 2016) mengatakan bahwa ada keterkaitan antara korupsi dan budaya. Budaya yang didominasi dengan nuansa “mis-trust” memiliki kaitan yang erat dengan tingkat korupsi yang tinggi. Sedangkan, budaya yang didominasi dengan nuansa “trust” berkorelasi positif dengan tingkat korupsi yang rendah. Oleh karena itu, nuansa “trust” dalam budaya masyarakat perlu dibangun karena menjadi salah satu upaya pencegahan korupsi.

Dengan demikian, strategi pendekatan kebudayaan dapat menjadi model pencegahan terjadinya korupsi dalam masyarakat, salah satunya melalui penguatan kembali nilai-nilai lokal masyarakat yang dalam kesempatan ini penulis ingin mengkaji praktik gotong royong khas masyarakat Gorontalo, yakni huyula.

 

Definisi dan Sejarah Singkat Huyula

Bagi masyarakat  Gorontalo tradisi gotong royong telah dikenal jauh sebelum kata gotong royong itu populer, masyarakat Gorontalo menyebutnya  dengan istilah Huyula. Huyula telah ada dan dibina secara turun temurun oleh masyarakat Gorontalo sejak ratusan tahun yang lalu.

Dalam bukunya yang berjudul Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Studi Empiris tentang Huyula, Rasid Yunus mengemukakan Huyula atau gotong royong ini sudah dikenal sejak dahulu, pada saat itu daratan Gorontalo masih tergenang air, terutama air laut dan penduduknya masih mengembara di pegunungan Tilongkabila Bone Bolango (salah satu Kabupaten di Provinsi Gorontalo). Setelah daratan Gorontalo terwujud pada abad ke-10, maka sistem Huyula ini berkembang menjadi tradisi masyarakat terutama dalam bidang pertanian dan pembangunan. Pada saat Gorontalo memasuki masa-masa kerajaan, yakni sekitar abad ke-12 Raja memanfaatkan Huyula ini untuk mengolah tanah pertaniannya. Rakyat secara spontan dan suka rela bekerja mengolah lahan pertanian milik raja dan para bangsawan. Demikian pula setelah masuknya Islam di Gorontalo pada abad ke-14, Huyula tetap terus dipertahankan oleh rakyat Gorontalo.

Menurut Niode dan Elnino (2003) dengan semangat Huyula inilah kerajaan Gorontalo dan kerajaan Limboto yang sejak lama bertikai untuk perebutan wilayah kekuasaan dengan sadar menghentikan pertikaian tersebut dengan perjanjian perdamaian yang terjadi pada tahun 1673. Adapun  janji persaudaraan kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Janji Lo Uduluwo Lo Ulimo Lo Pohalaa (Janji persatuan dari dua dan lima kerajaan). Dengan adanya janji ini yang didasari oleh semangat cinta, persaudaraan dan gotong royong maka berakhirlah perang yang telah berlangsung selama hampir 200 tahun. Meskipun pada dasarnya dalam buku tersebut tidak dijelaskan secara terang, namun penulis melihat secara substansial semangat Huyula-lah yang mendasari kedua kerajaan yang berperang cukup lama itu akur dengan janji yang mereka sepakati bersama, ikhlas dan penuh kerelaan.

Dalam buku Islam Tradisi dan Kearifan Lokal Gorontalo (2013), Ismail Puhi mengungkapkan Huyula dan Ti’ayo adalah tradisi yang masih mengakar dalam masyarakat Gorontalo sampai dewasa ini yang mengandung nilai-nilai dalam membangun kebersamaan, tanggung jawab, dan tolong menolong, terutama dalam aktifitas pertanian, sehingga dalam mengelola lahan tidak terasa beban berat secara individual.

Huyula adalah saling membantu dalam suatu pekerjaan secara bergiliran, sedangkan Ti’ayo adalah tolong menolong bersifat temporal. Lebih lanjut Ismail mengungkapkan, meskipun dua tradisi di atas (Huyula dan Ti’ayo) adalah menjadi symbol kebersamaan dan tolong menolong dalam masyarakat ditengarai hampir pudar, namun masih dipraktekkan oleh segelintir masyarakat di Desa Dena’a Kabupaten Gorontalo seperti pada kegiatan membajak kebun, yang beranggotakan masyarakat yang memiliki sapi yang biasa dipakai membajak kebun atau sawah. Sedangkan tradisi ti’ayo hampir tidak ditemukan lagi. Peneliti masih menemukan dibeberapa tempat, tapi tidak dilandasi lagi oleh semangat untuk membantu atau menolong, karena orang yang hadir atau dipanggil/diundang diberikan sejumlah uang sebagai upah.

Dalam Buku Perjuangan Rakyat di Daerah Gorontalo, Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi yang diterbitkan oleh Yayasan 23 Januari 1942 (1982) mengemukakan Huyula bagi masyarakat Gorontalo merupakan suatu sistem tolong menolong antara anggota-anggota masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial melalui ikatan keluarga tetangga dan kerabat.

Mochtar (Mohammad, 2005) mengungkapkan bahwa Huyula adalah pernyataan kebersamaan dalam membangun, atau kebiasaan memusyawarahkan setiap kebijakan yang akan diambil yang berhubungan dengan kepentingan dan hajat hidup orang banyak‟. Berdasarkan pendapat tersebut Huyula merupakan bentuk musyawarah dalam hal merumuskan kebijakan yang akan menjadi dasar dalam pelaksanaan pembangunan demi kepantingan bersama. Hal tersebut selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Daulima (2004) Huyula adalah “melakukan suatu pekerjaan bersama oleh sekelompok orang atau anggota masyarakat dalam arti saling membantu dan timbal balik”.

Menurut Syamsudin (1983) ditinjau dari segi pelaksanaannya Huyula dapat dibagi dalam tiga jenis yakni: 1) swadaya gotong royong laten; 2) gotong royong transisi; dan 3) gotong royong menivest. Pertama; swadaya gotong royong laten yakni masyarakat yang melakukan Huyula bilamana ada instruksi dari pemerintah misalnya kepala desa (Taudaa) kepada masyarakat agar mereka dapat memperbaiki jalan yang rusak, tanggul dan sebagainya. Kedua; gotong royong transisi yakni masyarakat desa melaksanakan huyula atas dasar inisiatif sendiri dari masyarakat maupun adanya intruksi dari pemerintah desa. Ketiga; gotong royong manives, artinya masyarakat desa melaksanakan huyula seluruhnya atas dasar inisiatif masyarakat desa itu sendiri dan bila sudah selesai melaksanakan pekerjaan, masyarakat melaporkan pekerjaan tersebut kepada atasan dalam hal ini kepala desa (Taudaa). Berdasarkan pengertian budaya huyula tersebut dapat disimpulkan huyula adalah budaya gotong royong atau tolong menolong yang dimiliki oleh masyarakat Kota Gorontalo yang dilaksanakan secara suka rela dengan maksud untuk kepentingan bersama demi terwujudnya cita-cita bersama.

  

Huyula sebagai alternatif solusi pencegahan tindak pidana Korupsi

 Dalam perjalanan sejarahnya masyarakat Gorontalo mengenal huyula terbagi pada beberapa jenis kegiatan, yakni: Ambu, Hileyiya, dan Ti’ayo. Masing-masing kegiatan yang merupakan penjabaran ataupun turunan dari tradisi huyula ini memliki kesamaan secara substansial, namun sedikit berbeda pada tatanan praktek dan nilai.

Ambu misalnya, yang bermaksud kegiatan tolong menolong untuk kepentingan bersama, misalnya pembuatan jalan desa, tanggul desa, dan jembatan. Selain itu, Ambu juga digunakan untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat seperti tauran antara kelompok pemuda. Nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi ambu ini adalah Kerja sama, suka rela (keikhlasan), kebersamaan, keadilan, tanggungjawab, musyawarah,  persatuan, dan peduli.

Hileiya, Merupakan kegiatan tolong menolong secara spontan yang dianggap kewajiban  sebagai anggota masyarakat, misalnya  pertolongan yang diberikan pada keluarga yang mengalami kedukaan dan musibah lainnya. Istilah Hileiya berasal dari kata heiya, yang artinya menggeser, memindahkan, yakni memindahkan aktifitas sehari-hari seperti berkumpul, bersih-bersih rumah, memasak, ke tempat keluarga yang berduka, sehingga mereka merasa terhibur dan tidak larut dalam musibah yang menimpa (semacam anjuran ta’jiyah). Untuk nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Hileiya, antara lain: Kebersamaan, tanggungjawab, empati, dan peduli.

Ti’ayo, Merupakan  kegiatan tolong menolong antara sekelompok orang untuk membantu meringankan atau menyelesaikan pekerjaan. Misalnya dalam kegiatan pertanian (tanam dan panen), kegiatan membangun rumah, dan kegiatan membangun bantayo (tenda) untuk pesta perkawinan. Perbedaannya dengan dua tradisi sebelumnya, Ti’ayo adalah tolong menolong yang bersifat temporal. Nilai-nilai yang terkandung dalam Ti’ayo sendiri Kerja sama, kebersamaan, kerja keras,  musyawarah, empati, persatuan, dan peduli.

Terkait dengan pencegahan tindak pidana korupsi, setidaknya ada 9 nilai luhur yang dapat digunakan sebagai antithesis korupsi, Kesembilan nilai tersebut perlu dibudayakan dalam masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, antara lain: jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, mandiri, adil, berani, dan peduli.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fauziyah (2015) yang mengangkat judul Nilai-Nilai Pendidikan Anti korupsi dalam Al-qu r’an: Kejujuran, Tanggung Jawab dan Kesederhanaan, Bura dan Puspito memberikan ulasan yang cukup jelas terkait definisi dari  nilai-nilai anti korupsi tersebut, yakni: Kejujuran adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. Tanggung jawab merupakan perilaku dan sikap yang melaksanakan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan. Kerja keras didefinisikan sebagai perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan, belajar, dan tugas, serta menyelesaikan tiga dengan sebaik-baiknya. Sederhana diartikan sebagai perilaku yang tidak berlebihan, apa adanya, hemat, rendah hati, dan sesuai kebutuhan. Mandiri didefinisikan sebagai perilaku dan sikap yang tidak mudah bergantung pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Adil didefinisikan sebagai perilaku dan sikap yang tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak pilih kasih, berpihak pada kebenaran, sepatutnya, seimbang, obyektif, dan proporsional. Kepedulian adalah wujud dari empati dan perhatian yang mendorong manusia untuk menjalin hubungan dengan orang lain.

Dari beberapa sumber yang ada, dapat disimpulkan bahwa huyula yang selanjutnya terbagi pada tiga kegiatan, yakni: Ambu, Hileyiya, dan Ti’ayo yang merupakan tradisi masyarakat Gorontalo yang telah dipraktekan dari masa ke masa memiliki nilai-nilai antara lain: kerja sama, kerja keras, suka rela (ikhlas), kemandirian, kesederhanaan, jujur, keadilan, tanggungjawab, musyawarah, persatuan, kebersamaan, peduli, dan empati.

Kearifan lokal Huyula yang sudah turun temurun dilaksanakan masyarakat Gorontalo secara tidak langsung dapat menjadi upaya membangun budaya anti korupsi. Sebab dalam praktiknya Huyula penuh dengan nilai-nilai anti korupsi.

Pertama, nilai kejujuran terlihat pada saat anggota masyarakat dipercaya tuan rumah untuk melaksanakan suatu tugas, dengan segala upaya yang dimiliki, orang tersebut akan menjaga amanah yang diberikan padanya. Orang tersebut akan selalu memposisikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. Meskipun orang-orang tersebut memiliki banyak kesempatan untuk berbuat nakal, misalnya dengan tidak datang pada pelaksanaan huyula, bekerja hanya sekedar gugur kewajiban (tidak serius), bekerja atas dasar mengharapkan imbalan dan lain sebagainya, namun semua itu tidak dilakukan oleh orang-orang Gorontalo dizaman dulu.

Kedua, nilai kedisiplinan terlihat pada saat pelaksanaan huyula. Setelah diumumkan bahwa akan diadakan huyula maka anggota masyarakat mempersiapkan segala keperluan. Untuk hileyia misalnya, segala aktifitas rutin sehari-hari seperti memasak, bersih-bersih pekarangan dan rumah, dipindahkan ke tempat keluarga yang berduka, agar mereka merasa terhibur dan tidak larut dalam duka. Meskipun tidak ada aturan tertulis, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang mengakar. Nilai kedisplinan lainnya terlihat pada saat selesai melaksanakan pekerjaan, masyarakat melaporkan pekerjaan yang telah dilaksanakan tersebut kepada atasan dalam hal ini kepala desa (Taudaa).

Ketiga, nilai tanggung jawab. Nilai tanggung jawab tersirat pada perilaku semua anggota masyarakat dalam melaksanakan tugas membantu meringankan atau menyelesaikan suatu pekerjaan sampai dengan selesai. Menurut Bura dan Puspito, tanggung jawab merupakan perilaku dan sikap yang melaksanakan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan. Nilai tanggung jawab lainnya tergambar pada perilaku tuan rumah yang berusaha memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat yang sedang melaksanakan huyula, misalnya menyediakan makan siang, paling tidak rokok, minuman, dan cemilan-cemilan ringan, namun sekali lagi ini bukan suatu kewajiban, tidak diadakan juga tidak masalah.

Keempat, nilai kerja keras terlihat jelas selama prosesi huyula diselenggarakan. Tidak ada masyarakat yang bekerja hanya sekedar gugur kewajiban, meskipun sering diselipi oleh celotehan-celotehan kecil, namun itu bukan berarti orang-orang bekerja tidak serius, hal itu sekedar untuk menjaga keceriaan selama prosesi huyula dilaksanakan. Nilai kerja keras pun tergambar dari tidak adanya masyarakat yang meninggalkan lokasi diakdakannya huyula sebelum semuanya selesai dikerjakan (kecuali ada alasan yang mendesak).

Kelima, nilai kesederhanaan. Sederhana menurut Bura dan Puspito (Fauziyah, 2015) diartikan sebagai perilaku yang tidak berlebihan, apa adanya, hemat, rendah hati, dan sesuai kebutuhan. Nilai kesederhanaan yang tergambar dari pelaksanaan tradisi huyula adalah bagaimana pelayanan tuan rumah kepada masyarakat yang datang untuk melakukan huyula, Apa adanya dan tidak berlebihan. Makanan dan minuman yang dihidangkan biasa-biasa saja, kadang-kadang kopi atau teh panas, bahkan tak jarang air putih saja. Sementara untuk makanan sendiri biasanya cemilan-cemilan ringan, kue, serta makan siang dengan lauk dan sayur seadanya. Bahkan sering kali masyarakat sudah membawa bekal sendiri dari rumah, jika memang keluarga yang melaksanakan huyula benar-benar dari keluarga yang kurang mampu.

Keenam, nilai kemandirian. Mandiri didefinisikan sebagai perilaku dan sikap yang tidak mudah bergantung pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Hal ini tergambar pada masyarakat Gorontalo yang tidak pernah mewajibkan huyula pada orang-perorang. Huyula lebih pada rasa empatik dari warga pada umumnya kepada salah satu warga yang sedang ditimpa musibah atau melaksanakan hajatan. berangkat tidak mewajibkan untuk datang pada saat pelaksanaan huyula inilah terpancar sebuah kemandirian dari tuan rumah pelaksana huyula, tidak mudah bergantung pada siapapun.

Ketujuh, nilai keadilan. Adil didefinisikan sebagai perilaku dan sikap yang tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak pilih kasih, berpihak pada kebenaran, sepatutnya, seimbang, obyektif, dan proporsional. Nilai keadilan ini jelas tergambar pada bagaimana masyarakat Gorontalo yang melaksanakan huyula tanpa melihat status sosial orang tersebut dalam masyarakat, miskin atau kaya, pejabat atau orang biasa, bukan ukuran masyarakat untuk ikut berpartisipasi meringankan beban orang tersebut jika dibutuhkan dalam sebuah komunitas masyarakat.

Kedelapan, nilai keberanian terlihat pada perilaku masing-masing anggota masyarakat yang datang membantu maupun tuan rumah yang melaksanakan huyula. Keberanian anggota masyarakat yang datang membantu terlihat pada saat menerima amanah untuk menjalankan sebuah tugas, dengan segala kemampuan yang dimiliki tugas tersebut dilaksanakan sampai dengan selesai. Sementara nilai keberanian terpancar dari tuan rumah pada saat berani mengambil resiko mengundang warga kampung untuk melaksanakan huyula, sebab ini erat kaitannya dengan konsekuensi pengadaan logistik makanan, minuman, dan bentuk apresiasi lainnya, sekalipun hal ini tidak diwajibkan.

Kesembilan, nilai kepedulian. Kepedulian menurut Boyatzis & McKee (Prayitno, 2016) adalah wujud dari empati dan perhatian yang mendorong manusia untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Dalam Buku Perjuangan Rakyat di Daerah Gorontalo, Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi yang diterbitkan oleh Yayasan 23 Januari 1942 (1982) mengemukakan: Huyula bagi masyarakat Gorontalo merupakan suatu sistem tolong menolong antara anggota-anggota masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial melalui ikatan keluarga tetangga dan kerabat. disinilah terlihat jelas dan cukup terang nilai kepedulian dimaksud. Huyula adalah simbol kebersamaan dan tolong menolong dalam sebuah komunitas masyarakat.

Berangkat dari urian diatas, penguatan kembali tradisi huyula yang syarat akan nilai-nilai jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, mandiri, adil, berani, dan peduli dianggap penting. Sebab hal tersebut adalah sebuah alternatif solusi dari persoalan semakin maraknya tindak pidana korupsi hari ini.

pelaksanaan tradisi huyula dapat disebut memuat pendidikan anti korupsi meskipun tanpa kurikulum baku yang tertulis. Angraeni (2016) mengemukakan bahwa pendidikan anti korupsi dapat dipahami sebagai upaya pengembangan segala potensi yang dimiliki masyarakat untuk mewujudkan budaya antikorupsi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Potensi yang dimaksud yaitu nilai dan norma yang menjadi pedoman kehidupan sehari-hari. Budaya anti korupsi yang terbangun akan mendorong masyarakat untuk memiliki karakter yang baik. Lickona, (2015) mengemukakan, Karakter yang baik meliputi tiga proses psikologis yaitu mengetahui hal yang baik (knowing the good), menginginkan hal yang baik (desiring the good), dan melakukan hal yang baik (doing the good). Berangkat dari hal tersebut, orang yang berkarakter adalah orang yang memiliki integritas sehingga pikiran, perasaan, dan kehendak serta perilakunya sejalan dan konsisten. Pengenalan dan penguatan kembali nilai-nilai anti korupsi dalam tradisi huyula dapat menjadi pemantik budaya anti korupsi di masyarakat.

Membunuh Tabiat Korupsi Melalui Penguatan Kembali Nilai-Nilai Lokal Masyarakat Gorontalo 1Penulis: Supandi Rahman
Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo

Let's block ads! (Why?)



"nilai" - Google Berita
February 02, 2020 at 12:38PM
https://ift.tt/36R2bMS

Membunuh Tabiat Korupsi Melalui Penguatan Kembali Nilai-Nilai Lokal Masyarakat Gorontalo - Kronologi.id - kronologi.id
"nilai" - Google Berita
https://ift.tt/2Oehd90
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Membunuh Tabiat Korupsi Melalui Penguatan Kembali Nilai-Nilai Lokal Masyarakat Gorontalo - Kronologi.id - kronologi.id"

Post a Comment


Powered by Blogger.